• Sab. Sep 6th, 2025

Era Baru Pendidikan: Google Hadirkan Gemini AI untuk Pelajar, Namun Tantangan Literasi Digital Mengintai

ByTiara Puspita

Sep 3, 2025

Google mengambil langkah besar dalam teknologi pendidikan dengan meluncurkan serangkaian fitur berbasis kecerdasan buatan (AI) di aplikasi Gemini untuk pelajar di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika (EMEA). Inisiatif ini menandai upaya agresif perusahaan untuk merevolusi cara belajar, namun di saat yang sama, kemajuan AI juga menciptakan tantangan serius terkait literasi digital bagi generasi muda.

Ekspansi Gemini untuk Demokratisasi Pendidikan

Dalam pengumuman resminya, Google merinci peluncuran sejumlah alat canggih yang dirancang khusus untuk pelajar. Fitur-fitur seperti Guided Learning (Pembelajaran Terpandu) menawarkan pemecahan masalah langkah demi langkah, yang menekankan pemahaman konsep dasar ketimbang sekadar hafalan. Integrasi yang mulus dengan Google Workspace memungkinkan pelajar membuat rangkuman multimedia, kartu belajar (flashcards), dan kuis secara instan.

Langkah ini dianggap strategis untuk mendemokratisasi pendidikan, terutama di wilayah dengan kesenjangan akses terhadap sumber daya berkualitas. Di kawasan Timur Tengah dan Afrika, di mana konektivitas internet seringkali tidak stabil, kemampuan akses offline pada aplikasi Gemini memastikan proses belajar tidak terhenti oleh kendala teknis. Selain itu, Google menawarkan langganan Gemini Pro secara gratis bagi pelajar terverifikasi, yang mencakup akses ke fitur-fitur premium seperti Deep Research dan Canvas, serta penyimpanan cloud sebesar 100GB. Inisiatif ini disambut baik oleh para pendidik di media sosial, yang melihat potensi besar dalam personalisasi pembelajaran sesuai kebutuhan setiap siswa.

Integrasi Ekosistem Google dan Kekhawatiran yang Muncul

Kecanggihan Gemini tidak berhenti di situ. Keterikatannya yang mendalam dengan Google Workspace for Education memungkinkan guru untuk memberikan tugas yang dibuat oleh AI secara langsung kepada siswa, seperti ringkasan dari NotebookLM atau sesi bimbingan khusus menggunakan “Gems”. Fitur-fitur ini, yang pertama kali diperkenalkan di Google I/O 2025, menandakan pergeseran menuju kurikulum yang diperkaya oleh AI, yang berpotensi mengurangi beban kerja guru sambil meningkatkan hasil belajar siswa.

Namun, para kritikus menyuarakan kekhawatiran tentang ketergantungan berlebihan pada AI dan potensi bias dalam konten yang dihasilkannya. Menanggapi hal ini, Google telah menyertakan filter konten dan proses orientasi khusus bagi pengguna muda untuk memastikan interaksi yang sesuai dengan usia. Langkah pengamanan ini sangat penting, mengingat beragamnya regulasi privasi data di berbagai negara, mulai dari Eropa yang ketat hingga kerangka hukum yang masih berkembang di Afrika.

Tantangan Literasi Baru: Ketika Palsu Terlihat Terlalu Nyata

Di tengah optimisme terhadap AI di bidang pendidikan, muncul sebuah tantangan besar bagi Generasi Alpha—mereka yang lahir setelah tahun 2010. Jika generasi sebelumnya belajar membedakan iklan TV, berita bias, atau pencitraan influencer, generasi saat ini dihadapkan pada konten yang direkayasa AI namun terlihat dan terdengar sangat nyata.

Kecerdasan buatan modern, seperti Google Veo 3, mampu menghasilkan video fotorealistik beresolusi tinggi hanya dari perintah teks. Hasilnya bisa menyerupai wawancara jalanan, rekaman peristiwa bersejarah, atau konten lainnya dengan pencahayaan alami dan gestur yang sangat meyakinkan. Tanda-tanda visual yang janggal seperti glitch atau animasi kaku yang dulu mudah dikenali kini semakin sulit ditemukan. Anak-anak dari Generasi Alpha, pada usia di mana kemampuan mereka untuk menilai konten di layar masih terbatas, tumbuh dikelilingi oleh materi yang bahkan bisa menipu para ahli.

Dampak Nyata pada Perkembangan Anak dan Keamanan Digital

Situasi ini berbeda dari menonton film CGI Disney atau bermain video game hiperrealistis. Anak-anak biasanya sudah bisa membedakan fantasi dan kenyataan pada usia lima atau enam tahun melalui petunjuk-petunjuk logis, seperti hewan yang berbicara atau sihir. Namun, konten buatan AI menghilangkan petunjuk tersebut. Ia meniru tampilan dan nuansa rekaman asli, dapat menirukan suara atau penampilan orang yang dipercaya, dan muncul tanpa jeda di antara video YouTube atau klip TikTok.

Ketika kemampuan penalaran anak mulai tajam di usia tujuh hingga delapan tahun, realisme AI justru menyulitkan mereka untuk membedakan apakah yang mereka tonton adalah manusia asli atau program yang menyamar. Dampaknya semakin sulit diabaikan. Pada Juni lalu, kepolisian di Alberta, Kanada, mengeluarkan peringatan setelah ditemukan hampir 4.000 gambar dan video deepfake eksplisit yang menampilkan anak-anak antara tahun 2023 dan 2024. Hal ini menyoroti bagaimana AI disalahgunakan untuk eksploitasi dan perundungan.

Mendesaknya Upaya Membangun Literasi AI

Menghadapi tantangan ini, diperlukan tindakan di berbagai lini. Beberapa wilayah seperti Alberta, British Columbia, dan Ontario di Kanada telah memulai program percontohan pendidikan AI di sekolah. Namun, belum ada kerangka kerja nasional yang terpadu untuk mendukung guru, membimbing orang tua, dan memastikan siswa mengembangkan kemampuan untuk memahami, mengevaluasi, dan menggunakan AI secara bertanggung jawab dari tingkat TK hingga SMA.

Survei nasional menunjukkan bahwa kurang dari separuh (48%) pendidik merasa siap untuk menggunakan alat AI di kelas. Tanpa adanya literasi digital yang terstruktur di sekolah, bimbingan orang tua di rumah, dan perlindungan yang lebih jelas dari platform digital, kesenjangan kompetensi digital ini dapat terus melebar. Pada akhirnya, inisiatif Google menunjukkan potensi luar biasa AI untuk mentransformasi pendidikan, tetapi juga menegaskan kebutuhan mendesak untuk revolusi serupa dalam literasi digital guna melindungi generasi mendatang dari sisi gelap teknologi ini.