Pada tahun 2008, grup musik asal Bandung, Rocket Rockers, merilis sebuah lagu yang ikonik berjudul “Ingin Hilang Ingatan”. Lagu dari album Better Season ini dengan cepat menjadi anthem bagi banyak pendengar di Indonesia yang sedang patah hati. Liriknya yang lugas, seperti “Menghilanglah dari kehidupanku, enyahlah dari hati yang tlah hancur,” menyuarakan keinginan mendalam untuk menghapus memori menyakitkan tentang masa lalu. Sebuah keinginan yang sangat manusiawi, namun pada saat itu hanya sebatas angan-angan dalam karya seni.
Kini, lebih dari satu dekade kemudian, konsep “mengubah” kenyataan dan memori tidak lagi hanya ada dalam lirik lagu. Teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI), telah memasuki ranah industri musik global dengan kekuatan yang tak terduga, memicu perdebatan sengit tentang masa depan kreativitas.
Revolusi Visual: Ketika AI Menciptakan Seni
Sebuah diskusi panel yang digelar baru-baru ini di New York menjadi sorotan utama. Acara tersebut menghadirkan dua tokoh penting: Lyor Cohen, pimpinan YouTube Music, dan Jidenna, seorang rapper-penyanyi yang dikenal dengan lagunya yang pernah masuk nominasi Grammy, “Classic Man”. Sebelum diskusi dimulai, para hadirin dikejutkan oleh pemutaran video musik terbaru dari grup hip-hop legendaris, Wu-Tang Clan, untuk single mereka “Mandingo”. Setiap frame dalam video tersebut terlihat sangat fotorealistis, namun seluruhnya diciptakan menggunakan generator video AI Google, Veo 2.
“Ketika saya melihatnya, saya hampir terjatuh dari kursi,” ungkap Cohen dengan antusias. “Saya menantang siapa pun untuk mengatakan ‘itu bukan seni’. Menurut saya, itu benar-benar artistik dan dieksekusi dengan sangat baik. Dan mereka tidak sendirian dalam hal ini.”
Perspektif Seniman: AI Sebagai ‘Sampling’ Gaya Baru
Jidenna, yang kini menempuh jalur independen setelah sebelumnya berada di bawah naungan label besar, menjadi salah satu seniman yang paling vokal dalam merangkul teknologi AI. Ia menceritakan evolusinya dari seorang musisi menjadi kreator multi-disiplin yang mahir menggunakan AI untuk karya-karyanya.
Menurut Jidenna, ada garis lurus yang bisa ditarik antara kebangkitan musik hip-hop di masa lalu dengan perkembangan AI saat ini. “Kita berada di titik di mana mereka yang mungkin terpinggirkan karena berbagai alasan, kini dapat mengambil sebuah alat baru dan mencari tahu apa yang bisa kita lakukan dengannya,” jelasnya di hadapan para legenda hip-hop lain seperti Busta Rhymes dan Chuck D yang turut hadir.
“Sama seperti hip-hop dulu, sekarang mereka bilang (karya AI) ini bukan seni. Sama seperti hip-hop, mereka bilang, ‘Oh, itu ilegal. Modelnya dilatih dari data orang lain.’ Dulu, hal semacam itu kita sebut sampling,” tegas Jidenna, menyamakan proses pelatihan model AI dengan teknik pengambilan sampel musik yang menjadi fondasi genre hip-hop.
Ajakan untuk Merangkul Perubahan
Meskipun Google dan YouTube jelas memiliki kepentingan dalam mempromosikan AI, diskusi tersebut tidak menghindari isu-isu pelik yang meresahkan industri hiburan. Namun, pesan utamanya jelas: perubahan ini tak terhindarkan.
“Tidak ada cara untuk menghentikan ini,” kata Cohen. “Jadi, pemikiran saya adalah kita harus proaktif, merangkul momen ini, dan percaya bahwa orang-orang kreatif yang benar-benar berbakat dapat membawanya ke level berikutnya.”
Jidenna menambahkan bahwa keberanian untuk terjun ke hal yang tidak diketahui adalah kunci. “Anda tidak boleh takut untuk mengambil lompatan itu. Bagi banyak dari kita, ini adalah momen yang sangat menakutkan. Tapi jika Anda merangkulnya, percayalah, saya mempelajari semuanya melalui proses coba-coba,” katanya.
Dilema Hukum dan Etika di Era Digital
Tentu saja, penggunaan AI tidak lepas dari tantangan. Isu-isu seperti perlindungan hak cipta, bahaya deepfake, dan perlunya model bisnis yang berevolusi menjadi topik yang tak terelakkan. Menanggapi hal ini, Kevin Montler, penasihat hukum senior YouTube Music, memberikan pandangannya dari bangku penonton.
“Teknologi ini lebih maju daripada hukum yang ada,” ujar Montler. “Bahkan di dalam kelompok industri, baik dari sisi teknologi maupun pemegang hak cipta, kita belum melihat adanya kesamaan posisi. Saya rasa semua orang masih mencoba mencari jalan keluarnya.”
Jidenna setuju bahwa seniman tidak seharusnya dieksploitasi, di mana karya mereka digunakan untuk melatih model AI tanpa izin. Namun, ia juga pesimis bahwa sistem hukum akan mampu mengejar laju perkembangan teknologi.
Dari keinginan sederhana untuk “hilang ingatan” dalam sebuah lagu pop-punk Indonesia, kini dunia musik dihadapkan pada sebuah teknologi yang mampu menciptakan “ingatan” dan realitas visual baru. Industri ini berada di persimpangan jalan, menavigasi masa depan di mana batas antara kreativitas manusia dan karya yang dihasilkan mesin menjadi semakin kabur.